Thursday 28 February 2013


A Good Day to Die Hard? maybe yes, maybe no

Rated 15 Director Daniel Espinosa Starring Bruce Willis, Jai Courtney Screenplay David Guggenheim Distributor 20th Century Fox Running time 97 mins 

A Good Day to Die Hard adalah instalment kelima dari franchise ini, diawali dengan Die Hard (1988), Die Hard 2(1992), Die Hard : With A Vengeance(1995) dan Die Hard 4.0./Live Free or Die Hard(2009). Di film terbaru ini John McClane tidak sendirian tapi ditemani oleh anaknya Jack McClane sebagai sidekick barunya. Ini ketiga kalinya McClane mempunyai sidekick yang menemaninya sepanjang film setelah solo di dua film pertamanya. Sebelumnya Sammy Jackson menemaninya menyetir taksi di Vengeance dan Edward Furlong membantunya mengutak atik komputer di Die Hard 4.0., kali ini bintang Spartacus, Jai Courtney, yang jadi tandemnya.

Dikisahkan sang ayah John McClane(Willis) mencari anaknya Jack(Courtney) yang dikabarkan ditahan di penjara Rusia karena kasus pembunuhan. Dengan rencana untuk mengeluarkannya, John pergi ke Rusia. Namun ternyata ia malah mengacaukan operasi rahasia CIA yang dioperasikan oleh anaknya, Jack, yang ternyata agen rahasia CIA. Karena operasi yang gagal, mereka berdua harus menyelamatkan ilmuwan Rusia bernama Komarov(Sebastian Koch) yang dikejar-kejar pasukan pembunuh karena menyimpan rahasia petinggi Rusia yang bisa membuat sang petinggi masuk penjara. CIA berkepentingan karena mereka tidak mau sang petinggi Rusia ini menjadi presiden Rusia, well, CIA selalu berkepentingan di belahan dunia manapun bukan? 

yeah smile Bruce, your movie got more money than your buddy Arnie and Sly

And the story go on, dar! der! dor! bang! bang! boom!! tembak sana tembak sini, kebut-kebutan, ledakan, Die Hard style. Well, at least that what I thought. Salah satu hal yang menarik dari franchise ini adalah tiap film selalu menampilkan adegan action yang baru dan berbeda dari film-film sejenis. Contoh, Die Hard menampilkan adegan tembak-menembak di dalam gedung dengan cara gerilya dan tiap lantai berbeda dari lantai lainnya tidak ada yang sama setnya, cukup keren pada jamannya bukan? Die Harder, one of the most memorable moment, ketika McClane membakar avtur yang tercecer di tanah dan meledakkan pesawat, awesome!! Vengeance, bermain Simon Says sambil memecahkan puzzle dan treasure hunting di NYC dengan taksi kuning simbol Big Apple? okay for me!! Die Hard 4.0, adegan mobil meluncur ke atas di mulut terowongan yang ditabrakkan ke helikopter, adegan ini cukup keren walapun sedikit lebay. Intinya adalah film kelima ini memberikan action yang cukup senafas dengan 3 film sebelumnya, yang sempat kurang di film keempat. Adegan kebut-kebutan yang cukup panjang di awal film lumayan intens dan adegan tabrak-menabraknya cukup inovatif. Belum pernah ada adegan truk lapis baja meloncat dari flyover dan menabrak silinder beton seheboh itu, puas rasanya. Tapi justru adegan tembak-menembaknya biasa saja untuk ukuran film action jaman sekarang, tidak ada yang terlalu istimewa dari adegan dar der dor di film sepanjang 97 menit ini. Malah pace film ini sempat mengendur dan turun di 1/4 film terakhir, hanya sedikit naik di akhir-akhir film. Seperti kehabisan napas di tengah-tengah film karena semua trik sudah dikeluarkan di awal film. Adegan terakhirnya pun kurang wow untuk sebuah film yang sudah mengumbar full action di awal film, sedikit antiklimaks. Note, entah kenapa helikopter menjadi overused sekali di film ini. Seperti tidak ada war machine yang lebih efektif untuk membunuh McClane family, same trick different place. Dialog dan skripnya klise tipikal film action walaupun joke ala McClane bisa lucu di beberapa adegan. Dan entah kenapa selalu ada dialog ‘we got company’ setiap kali ada musuh muncul di film action? It’s lame dude! 

scene yang ditunggu semua lelaki tapi ternyata hanya sepersekian detik, mengecewakan!

Yang patut diperhatikan di film ini adalah Yulia Snigir, cantik sekali. Entah kenapa wajahnya bisa berubah setiap kali berganti scene atau berganti personality, or is it just me? Walaupun mendapat cukup banyak screen time, tapi kurang gimana gitu dan hanya sekedar menjadi eye candy. Oh ya, Marie Elizabeth Winstead kembali sebagai Lucy McClane, walaupun cuma muncul sekitar 10 menit tapi cukup untuk mengobati kangen fans-fansnya, I miss you Ramona Flowers!! Sepertinya yang kurang adalah chemistry antara Willis dan Courtney sebagai bapak anak. Baiklah joke diantara mereka cukup lucu tapi seperti kurang terlihat bapak anak walaupun sama-sama botak. Satu lagi, McClane kurang berdarah-darah di film ini. Ia terlihat sehat walafiat, not even a scratch walaupun sudah ditembaki oleh helikopter tempur Rusia sekalipun. Membuatnya menjadi lebih seperti seorang superhero daripada pensiunan polisi dari LA. Sepertinya itu yang hilang walaupun tidak sepenuhnya dari film ini, McClane yang terlihat keren dengan luka-luka yang berdarah dan keringat yang mengucur sambil tetap melontarkan lelucon garingnya. Atau mungkin karena botox berlebih sehingga muka Bruce Willis terlihat kaku dan sulit berekspresi?
Sedikit goofs, sepertinya ada adegan yang teredit di film ini. Ketika adegan taksi, di trailer si supir taksi sempat bertanya kepada McClane ‘are you a cop?’ di film adegan ini tidak ada. 
Yang membuat Die Hard kelima cukup seru adalah twist yang hilang di Die Hard 4.0, iya sih twist itu cuma ada di film kedua dan ketiga tapi tetap saja itu bagian yang cukup berkesan dan bisa memuaskan dahaga di film kelima ini. 

Ada seorang teman yang bilang A Good Day to Die Hard ini film yang booooring, membosankan, bahkan ia menyesal membayar 40 ribu untuk menonton film ini. Ada juga yang bilang film ini bagus kok. Yah, itu kan pendapat masing-masing manusia, film ini cukup menghibur kok sebenarnya asal nggak high expectation saja. Bisa dimengerti kenapa ada yang bilang film ini boring karena memang ada beberapa momen yang terlalu bertele-tele dan mungkin cerita yang ‘standar’ untuk film action masa kini. Gue masih rela membayar 40 ribu lagi untuk menonton lelaki paruh baya yang susah mati ini beraksi lagi di Die Hard 6, yippikaye motherfucker!!

Time to hunt some witch with Hansel and Gretel:  Witch Hunter


Rated 15 Director Tommy Wirkola Starring Jeremy Renner, Gemma Arteton, Famke Jansen Screenplay DW Harper, Tommy Wirkola Distributor Paramount Running time 88 mins

Akhir-akhir ini makin banyak cerita anak klasik diangkat menjadi film layar lebar, Sam Raimi dengan Oz(2013), Bryan Singer dan Jack the Giant Beanstalk(2013) dan GDT dengan proyek impiannya, Pinocchio(????). Sebelum film-film itu rilis, awal tahun ini ada film yang juga diambil dari cerita anak klasik karya Brothers Grimm namun dirombak habis-habisan menjadi period action movie ala Van Helsing, Hansel & Gretel. 

Alkisah kakak beradik Hansel & Gretel ditinggalkan oleh ayah mereka tanpa mereka tahu alasannya di tengah hutan. Yang kemudian menemukan rumah yang terbuat dari permen dan gula-gula. Ternyata rumah tersebut  ditinggali oleh penyihir yang suka memangsa anak-anak. Namun Hansel & Gretel berhasil mengalahkan penyihir tersebut. Ketika beranjak dewasa, Hansel(Jeremy Renner) & Gretel(Gemma Arteton) akhirnya menjadi pemburu penyihir karena pengalamannya dengan penyihir di masa kecil. Mereka disewa oleh kepala desa dimana di desa tersebut banyak anak kecil yang diculik oleh penyihir dalam waktu yang berdekatan. Hansel & Gretel pun menyelidiki apa yang sedang terjadi di desa itu hingga berkonfrontasi dengan penyihir yang ternyata menyimpan banyak rahasia tentang mereka di masa lalu.

standart cool guys scene

Genre period action fantasy seperti ini mulai heboh ketika Van Helsing(2004) muncul, sehingga ketika ada film semacam ini muncul, selalu ada saja yang langsung membandingkannya dengan Van Helsing. Sebenarnya ada yang film sejenis yang menarik muncul lagi setelah Wolverine gondrong sang pemburu vampir itu. The Brothers Grimm(2005) dengan Matt Damon dan almarhum Heath Legder sebagai Wilhem dan Jacob Grimm, serta Monica Belluci sebagai Mirror Queen, the villain. Tapi film tersebut tampaknya tidak box office dan kurang banyak peminat sehingga dilupakan banyak orang. It’s Terry Gilliam film by the way, jadi bayangkan sendiri seperti apa filmnya.
Dari awal film, penonton sudah ditunjukkan kehebatan Hansel & Gretel ketika mereka membakar penyihir pertama mereka waktu kecil. Kejadian itu juga membuat mereka memutuskan witch hunting untuk menjadi profesi utama mereka, ‘hey, burning witch it’s fun Gretel, let’s do this for a living’  kemudian kita juga langsung disuguhi se’cool’ apa mereka dengan menyetop pembakaran seorang wanita di desa yang dituduh penyihir. Dengan Hansel bersenjatakan pistol dan Gretel membawa senapan panah otomatis yang bisa menembak 15 anak panah per detik, mereka memburu penyihir yang datang ke desa itu. Cukup banyak adegan seru pertempuran Hansel & Gretel vs the witches di film ini, seperti adegan kejar-kejaran Hansel dengan penyihir di hutan. Pergumulan mereka lumayan seru untuk ditonton, salah satu adegan menunjukkan kalau Hansel hanya manusia biasa sehingga ia bisa dihajar penyihir sampai babak belur jika ia lepas dari senjata-senjatanya. Walaupun Hansel & Gretel kebal dengan segala macam mantra-manta sihir tap tetap saja mereka bonyok jika dihajar dengan hook dan jab dari sang penyihir. Peralatan dan senjata yang dipakai di film ini pun bisa dibilang keren, lebih terasa steampunk daripada senjata pada jamannya. Film ini juga keluar dalam format 3D, film apa sih yang nggak 3d jaman sekarang, dan itu sepertinya tidak penting untuk film ini. Mungkin ada adegan yang bisa di 3D-kan seperti penyihir yang mati terpotong kabel baja ketika ngebut dengan tongkatnya, tapi yah lewat begitu saja. Tommy Wirkola(Dead Snow) sang penulis dan sutradara, mampu membangun cerita yang bagus untuk membuat kita tahu dan peduli dengan karakter Hansel & Gretel. Digambarkan bagaimana latar belakang mereka, cara mereka bekerja memburu penyihir ala detektif, romance Hansel dengan wanita yang diselamatkannya sampai ternyata masa lalu yang cukup mengagetkan untuk mereka berdua, little twist there. Note, detailing yang lucu sekaligus keren adalah Hansel yang harus menyuntikkan insulin setiap beberapa jam karena ia menderita diabetes, itu karena ia terlalu banyak makan permen waktu kecil ketika disekap di Ginger Bread House. 

standart pose for still image scene

Yang rasanya perlu diperhatikan di film ini adalah penggambaran the witches. Penampakan mereka cukup over the top untuk penyihir pada umumnya. Oke, gambaran penyihir jahat pada umumnya ada 2 kategori, nenek-nenek tua renta dengan hidung bengkok dan muka keriput menyeramkan ala Disney atau wanita cantik jelita yang sinis dan kejam ala Charlize Theron di Huntsman. Di film ini muncul kategori baru, penyihir mutan. Mereka berubah menjadi seperti mutan-mutan dari X-Men karena pengaruh kekuatan jahat witchcraft yang mereka praktekkan. Walaupun cukup berbeda dari biasanya tapi para penyihir di film ini seperti berdandan untuk cosplay Comicon. Dengan makeup dan efek yang heboh, mereka seperti para model yang didandani oleh kontestan ‘Face Off’. Mungkin bukan kebetulan pemimpin mereka, sang penyihir agung yang bisa berubah menjadi wanita cantik satu-satunya dari para penyihir tersebut, adalah Famke Jansen. Para fanboy mungkin berharap ada momen saat ia murka, rambutnya memerah dan berubah menjadi Phoenix untuk membakar Hansel & Gretel yang mana tidak mungkin terjadi di film ini.

cool guys walk away from explosions scene

Ada sedikit diskusi kecil dengan pacar setelah menonton film ini yang membuahkan konklusi bahwa Jeremy Renner wajahnya terlalu modern untuk bermain di period movie seperti ini. Aktingnya so so dan mukanya datar tanpa ekspresi yang meyakinkan. Come on you're hunting witches here!! Entah dia berusaha untuk tampil cool atau bagaimana. Lebih terlihat keren ketika ia bermain di Hurt Locker dan The Town, ia terlihat total di dua film itu. Also suddenly everybody saying Gemma Arteton will be the next action girl, quite agree with that. Pertama, badannya cukup bagus, atletis, dan boobsnya tidak terlalu besar. Kedua, dia bisa akting -coba tonton the Dissaperance of Alice Creed. Ketiga, she can kick some ass. Paling tidak dia bisa menyaingi Milla Jovovich di point kedua. Yang kurang sreg di film ini adalah entah kenapa hubungan kakak beradik antara Hansel & Gretel ini terlihat kurang chemistrynya, lebih terlihat seperti sepasang kekasih. Ada beberapa adegan ketika mereka berdua sedang berpelukan atau hanya ngobrol, terlintas bayangan sedetik setelahnya mereka bakal berciuman. Atau karena memang pasangan kakak beradik ini cukup mustahil, Hawkeye dan Strawberry Field, or is it just me? Dan ada one of the most favourite actor to play a role for the annoying scumbag villain, the infamous Peter Stormare, yang mengulangi perannya menjadi orang menyebalkan disini. 
Personally ada yang bikin cukup mengganggu, the orc. That is the most ugliest orc ever seen on the screen. Baiklah, orc memang seharusnya jelek tapi mereka paling tidak bisa dibuat lebih keren. Mereka bisa dibuat dengan desain karakter yang oke walaupun berperan sebagai penjahat. Because their orcs, what not so cool about orcs? Bahkan orc di The Hobbit pun terlihat sangar. Yang ada di terlintas ketika si orc muncul adalah ‘hei, itu Danny Trejo bukan?’. Oke tidak ada yang bilang Danny Trejo itu tidak keren, tapi dia tidak keren kalau dia mendadak jadi orc. Satu-satunya aktor yang bisa didandani seperti itu adalah Ron Pearlman, nuff said. That’s not orcs, that’s just some evil mutant witchcraft with Danny Trejo as the poor model victim.

Walaupun film ini mendapat satu bintang di Rotten Tomatoes tapi buat gue secara kesuluruhan film ini bagus kok, menghibur, alurnya nggak membosankan. Walaupun di beberapa adegan bisa zzzzzz tapi not bad lah. Ceritanya digarap dengan baik dan karakternya juga cukup cool untuk ditonton. So, just sit relax and enjoy some witch hunt.

Your Mama so creepy, she only can get through the wall but not the door


Rated 15 Director Andres Muschietti Starring Jessica Chastain, Nicholaj Coster-Waldau Screenplay Neil Cross,
Andrés Muschietti & Barbara Muschietti Distributor Universal Running time 100 mins

Ini ketiga kalinya GDT memproduseri film horor setelah The Orphanage(2007), Don’t Be Afraid of the Dark(2010), dan sekarang Mama. Don’t Be Afraid of the Dark cukup mengecewakan banyak orang dan kurang sukses di box office. Padahal film tersebut adalah proyek yang diincar GDT sejak lama. Dan kali ini ia kembali dengan memproduseri film yang diangkat dari film pendek kaya Andres Muschietti yang berjudul sama.

Kisah ini bermula ketika Jeffrey Desange(Nicholaj Coster-Waldau) frustasi dengan pekerjaanya yang menyebabkan ia membunuh dua koleganya serta istrinya. Ia kemudian membawa dua putrinya, Victoria(Megan Carpentier) dan Lily(Isabelle Nelisse), pergi dari rumah sampai terjadi kecelakaan yang mengakibatkan mereka menghilang tanpa jejak. Lima tahun kemudian Lucas Desange(Nicholaj Coster-Waldau) adik Jeff, masih berusaha mencari keberadaan kakaknya dan dua ponakannya. Ternyata dua keponakannya ditemukan masih hidup di sebuah pondok di tepi danau dengan keadaan yang mengenaskan. Akhirnya Lucas dan istrinya Annabel(Jessica Chastain) memutuskan untuk mengurus mereka berdua. Namun bagaimana kedua anak itu bisa bertahan selama lima tahun di tengah hutan? Siapa yang mengurus mereka? Banyak kejadian aneh yang terjadi semenjak mereka tinggal bersama dan siapa sebenarnya Mama yang mereka maksud?

Bagi yang belum menonton short filmnya, silakan buka Youtube dan tonton sendiri. Karena tanpa feature filmnya pun, short film tersebut masih tetap seram. Ya, beberapa adegan di film ini bisa membuat bulu kuduk berdiri. Kaget mungkin tidak terlalu tapi merinding iya. Apalagi horor Hollywood akhir-akhir ini lebih banyak dipenuhi dengan slasher daripada horor dengan gaya seperti ini. Film horor atmosferik terakhir yang cukup bagus adalah Insidious dari James Wan dan The Woman In Black dengan Harry Potter sebagai pemeran utama. 

A little touch by GDT hand of uncivilized Victoria and Lily

Dari awal film mahkluk Mama ini memang tidak terlalu di tutup-tutupi wujudnya. Walaupun belum jelas wujudnya seperti apa tapi sudah diperlihatkan bagaimana kira-kira bentuknya di dalam pondok Helvetia tempat ia pertama kali bertemu Victoria dan Lily. Alur cerita film ini memang cukup lambat, build upnya lama dan si Mama hanya nongol sekali-kali tanpa terlihat jelas seperti di awal film. 3/4 film ini mencoba menakut-nakuti penonton dengan teror Mama di rumah dan mencoba menjelaskan latar belakang si Mama ini siapa sebenarnya. Pace yang lambat serta kurang banyak adegan yang menyeramkan atau mengagetkan bisa membuat penonton yang kurang suka dengan tipe horor seperti ini bosan menunggu untuk ditaku-takuti. Namun jika mencermati, banyak adegan yang bisa membuat penonton mengerenyitkan dahi. Seperti adegan ketika Lily tertawa-tawa dan bermain tarik menarik selimut di kamar, sedangkan Annabell sedang mencuci baju dan Victoria ternyata baru naik dari lantai bawah. Itu mungkin salah satu adegan yang paling creepy di film ini. Ada satu adegan lagi yang cukup memorable, ketika si Mama menunjukkan masa lalunya ke Annabell lewat mimpi. Dengan efek filter warna yang seperti film rusak dan angle kamera fps macam Call of Duty, penonton diajak menjadi Mama ketika masih hidup, mengerti karakternya dan memahami perilakunya. 

she's definitly looking for her mom...

Film baru menjadi intens menjelang 1/4 film terakhir ketika rahasia mulai terkuak satu persatu dan Mama memperlihatkan wujudnya. Ada yang berpendapat hal ini malah backfire dan mendapat banyak komplain, karena si Mama mendadak menjadi banci kamera selama 1/4 film terakhir. Terlalu banyak screen time akhirnya malah membuatnya menjadi tidak seram karena terlihat jelas wujudnya. Oke, ini pendapat pribadi: si Mama memang harus muncul karena ia butuh berinteraksi dengan wujud aslinya dengan karakter lainnya. Memang betul di 1/4 film terakhir menjadi intens pada awalnya tapi di akhir-akhir film itu juga, film ini berubah menjadi drama keluarga bukan lagi horor. Dan justru itu yang menjadi kekuatan dari film ini. Kenapai drama keluarga? Karena itulah inti dari film ini, namun hal itu baru diperlihatkan di akhir film dan dijelaskan secara gamblang. Namun entah penonton menangkap atau tidak pesan yang coba disampaikan. Yah kira-kira ini film drama keluarga tentang kasih sayang seorang ibu berbalut horor yang cukup menyeramkan. Banyak yang menyayangkan ending dari film ini, padahal jika endingnya berbeda justru akan merusak alur dari seluruh cerita yang dibangun dari awal. GDT dan Andres Muschietti dari awal memang merasa waswas dengan endingnya, karena itu mereka mengajukan cerita dengan dua ending yang berbeda. Satu yang menjadi ending di film ini dan satu lagi adegan seperti final battle antara Annabel dengan Mama. Alhamdulillah, pihak studio puas dengan ending pertama tanpa harus diubah, good decision for me

...and here comes Mama!!

Nicholaj Coster-Waldau berperan menjadi dua orang di film ini, Jeffrey dan Lucas Desange, entah bayarannya dobel atau tidak. Perannya cukup sentral sebagai paman yang mati-matian mencari keponakannya yang menghilang dengan ayah mereka. Namun entah kenapa, peran seperti ini sangat tipikal dan sepertinya bisa diperankan oleh siapa saja tanpa ia sekalipun yang memerankan. Maybe you should return to Westeros, Jamie Lannister. Tokoh utama di film ini justru Annabel yang diperankan oleh, ya namanya muncul pertama di layar, Jessica Chastain. Wanita ini cukup membingungkan, wajahnya tipikal wanita Amerika, tidak memorable tapi justru itu yang menjadi kelebihannya. Seperti bunglon bisa berubah-ubah tergantung karakter di filmnya. Ia menjadi istri Lucas sekaligus bassis band rock dengan rambut ala Joan Jett. Bandingkan dengan ketika dia bermain di The Help atau di filmnya yang masuk nominasi Oscar 2013, Zero DarkThirty. Perubahan yang cukup drastis antara satu film dengan film lainnya, tampil solid dan boobsnya lumayan besar. Dari seorang anggota band rock yang cuek hingga menjadi wanita yang sungguh-sungguh peduli kepada Victoria dan Lily, sungguh aktris yang mengagumkan, serius ini serius. Namun kredit harus di tujukan kepada pemeran Victoria dan Lily, Megan Carpentier dan Isabelle Nelisse, terutama Isabelle. Ia berhasil memerankan bocah berusia 6 tahun yang tumbuh di hutan sehingga menjadi liar secara total dan meyakinkan tanpa terlihat canggung. Megan juga bisa meyakinkan penonton ia menjadi karakter Victoria yang mengalami pergolakan batin, memilih antara kehidupan bersama Annabel dan Luke atau tetap bersama Mama. Sedikit trivia, di Youtube official channel Mama, ada screen test movement untuk si Mama >> http://www.youtube.com/watch?v=Ins7QwvAp28 silakan tengok, ini lebih menyeramkan daripada yang ada di film. Seperti hantu dari Ju-on, seriously.

Fnal thought, it’s a good horror movie, i’ll say, horror movie with a heart. Mungkin bukan horor untuk semua orang, karena jika orang akan menonton film horor mereka berharap untuk ditakut-takuti dengan adegan yang menakutkan dan mungkin tanpa memikirkan ceritanya. But it’s GDT horror, yes i’m a GDT fanboy, and you’ll get something different here. Hampir semua film horor yang ia produseri/sutradarai selalu mempunyai cerita dan pesan yang menyentuh atau mungkin tragis. Silakan tonton film horornya yang lain, ada benang merah di tiap filmnya. Entah itu tentang hubungan keluarga ataupun persahabatan yang tersirat setipis G-string di semua film horornya. Mungkin kecuali Splice, itu pure horor scifi dan itu tetap keren. Paling tidak film ini mengobati kekecewaan setelah Don’t Be Afraid of the Dark  untuk para fans GDT di luar sana dan menjadi pemanasan sebelum jaeger vs kaiju di summer nanti, Pacific Rim!!!

Greetings!!

Ini blog kedua yang pernah gue buat, blog pertama sepertinya masih ada tapi sudah dipetieskan oleh blogspot dan menghilang entah kemana di belantara dunia maya. Karena itu gue memilih membuat blog baru -lebih karena gue lupa dengan password blog yang lama sebenarnya. Gue suka menonton film, pernah kerja di majalah film, punya teman-teman yang hobi juga menonton film dan punya pendapat sendiri tentang film yang gue tonton. Karena hasrat menulis gw sedang tinggi dan daripada opini itu cuma mengendap di cortex dan cerebellum, jadi lebih baik gue lempar ke dunia maya. Siapa tahu ada yang membaca dan gue dibayari tiket ke London buat nonton Arsenal di Emirates Stadium, amin ya Allah... 

Jadi ceritanya blog ini isinya bakal tulisan tentang film-film yang pernah gue tonton, ya semacam review lah, kadang rant juga kali ya. Walaupun bukan movie expert/movie buff/moviegoers/movie freaks or whatever, tapi gue senang menonton film dan mencoba menikmati setiap film yang gue tonton. Mungkin kecuali film-film Uwe Boll. Dan blog ini pengennya fokus ke film, walaupun mungkin nanti ngelantur ke hal yang tidak berhubungan dengan film juga seperti bajak laut, bocah setan, cewe-cewe berjumlah 48 orang, bola yang disepak 22 orang kemudian ditayangkan tiap minggu di tv dan sebagainya. Tapi tapi tapi walaupun difokuskan ke film, blog ini tidak ditujukan untuk jadi movie blog dan gue juga tidak bercita-cita menjadi movie blogger, karena cita pasti cinta dan Cinta hanya milik Rangga. Jadi jikalau ingin mencari review film yang lebih layak baca, silakan berselancar di blog-blog lain yang lebih properly written menulis review film seperti blog milik pak dokter ini >>> http://danieldokter.wordpress.com/ 
Tulisan gue di blog ini subjektif, jadi jika terganggu harap meninggalkan segera blog ini, gue tidak mau terjadi caci maki dan debat kusir karena kasihan pak kusir dibawa-bawa debat. Yes, i’m know I’m crunchy, as crunchy as shrimp crackers, I know it, thank you. Cukup dengan kotoran sapi ini, selamat membaca tulisan suka-suka gue jika berkenan, yang paling cocok ditemani dengan segelas teh susu hangat dan wanita cantik berkacamata tanpa busana di tempat tidur di sore hari dengan alunan lagu dari Siguros… Good day to you sir :)